sepotong cerita tentang MIWF
Makassar International Writers Festival (MIWF) 2017
merupakan festival literasi pertama yang saya hadiri sebagai penikmat sekaligus
sebagai volunteer. Festival ini sudah berlangsung sejak tujuh tahun yang lalu
dan ini kali pertama saya mempunyai kesempatan untuk dapat hadir dan
berpartisipasi. Saya mengamati MIWF sejak 5 tahun belakangan awalnya dari website
dan kemudian sosial media. Sebagai seseorang yang cinta dengan buku dan segala
kawan-kawannya saya merasa sangat rugi apabila saya belum pernah hadir di MIWF,
maka ketika dibuka pendaftaran untuk menjadi volunteer saya dengan sepenuhnya
sadar dan bersemangat segera mendaftar, pada saat itu saya masih di Semarang
dan belum ada kepastian kapan kembali ke pelukan orang tua, karena saat-saat
tersebut saya sedang ribet-ribetnya mengurus ini itu untuk keperluan wisuda.
Tapi hal tersebut tidak menggoyahkan sedikitpun keinginanku
untuk mendaftar dan bergabung dalma kepanitiaan MIWF 2017. Singkat cerita saya
diterima dan masuk ke divisi media & relation. Saya senang bukan kepalang! Diterima
sebagai volunteer saja saya sudah amat bahagia dan ini bahkan ditempatkan ke
divisi yang saya pilih dan saya suka, saya merasa ini akan menjadi hal paling
menyenangkan yang pernah saya lakukan.
Saya tidak sedikitpun merasa ini membebani, mungkin karena
itu saya menikmati setiap “tugas” saya disini, bahkan ketika sedang meliput pun
saya tidak merasa sedang bekerja memburu berita, saya merasa bersenang-senang. Bertemu
penulis, pegiat literasi, pengunjung yang memiliki minat yang sama, sungguh
kalimat bahagia itu sederhana benar adanya.
Perlu diketahui, yang namanya volunteer itu tidak dibayar
sepeserpun, bagi saya, dapat melakukan sesuatu yang saya inginkan tanpa
diganggu oleh orang lain saja sudah merupakan kemewahan, lupakan soal materi
dan lain-lain. Saya sangat bahagia pertama kali melihat Esti Kinasih, salah
satu novelis favorit saya semasa SMA, novel-novel Esti menemani perjalanan
kisah kasih saya di sekolah bersama teman-teman dan teman “spesial”. Bersalaman
dengan Adhitya Mulya penulis novel “Sabtu Bersama Bapak” yang sejauh ini masih
menjadi novel favorit saya sepanjang masa, meskipun ketika diadaptasi ke film
saya agak kecewa karena ekspektasi saya terhadap filmnya terlalu tinggi dan
saya merasa ketika difilmkan, feel-nya kurang “ngena” kalau kata anak jaman sekarang. Jangan ditanya ketika saya
melihat kang Maman notulen “Indonesia Lawak Klub” Trans7 berseliweran di
sekitar Fort Rotterdam, saya merasa betapa beruntungnya saya!! Ika Natassa yang
novelnya baru saja difilmkan, Critical Eleven ternyata aslinya tidak jauh
berbeda dengan apa yang selama kini ditampilkan di sosial medianya seperti
twitter dan instagram. Ika sangat santai dan cheerful, saya sempat berbincang
dan mengungkapkan perasaan saya ke Ika Natassa tentang film Critical Eleven
bahwa saya sangat menyukai filmnya, menurut saya Critical Eleven salah satu
film adaptasi dari novel yang tidak mengecewakan, film bergenre drama yang
layak untuk ditonton (halah malah jadi promosi). Lalu ada Joko Pinurbo dan
tentu saja sastrawan legend, Sapardi Djoko Damono, dengan sajaknya "aku ingin mencintaimu secara sederhana...." yang sangat fenomenal, saya tidak perlu mendeskripsikan
apa yang saya rasakan ketika bertemu dan mengikuti kelas Jokpin dan Sapardi
dalam tulisan ini, agar kalian yang baca merasa iri! HAHA. Belum lagi
penulis-penulis dan sastrawan dari luar negeri, sesi-sesi bersama mereka semua
bisa diikuti oleh siapa saja, sangat menyenangkan!
MIWF berlangsung selama empat hari mulai tanggal 17 hingga
20 Mei. Bukan hanya dihadiri banyak penulis dan pengisi acar lain, MIWF yang
berpusat di Fort Rotterdam Makassar juga menampilkan banyak hal-hal menarik,
seperti pop-up library dimana pengunjung bisa membaca berbagai macam jenis buku
yang disediakan dan gratis! Setiap sore ada program a cup of poetry, pengunjung
bisa dimanjakan dengan pembacaan puisi-puisi disuguhi kopi di sore hari, nikmat
Tuhan yang mana yang kalian dustakan ? MIWF dapat dinikmati semua orang itu
benar adanya,bukan hanya untuk generasi muda, bagi para orang tua dapat membawa
anak-anaknya untuk mulai mencintai literasi sejak kecil di program kids corner.
Pernah suatu kali, saya lupa hari kedua atau ketiga MIWF saya
melihat seorang laki-laki paruh baya sendirian memakai seragam formal hitam
putih sedang menikmati waktunya di taman baca, memilih-milih buku sesekali
bertanya kepada pustakawan yang sedang bertugas di pop-up library. Saya hanya
jarang melihat pemandangan seperti itu. Hal yang paling menyenangkan di MIWF
adalah para penulis dan pengisi acara yang hadir dapat berinteraksi langsung
dengan para pembaca maupun penggemarnya tanpa dibatasi apapun, mereka bisa
berbincang-bincang hangat di taman baca maupun di setiap sesi-sesi yang
dijadwalkan, dan sekali lagi untuk mengakses semua itu para pengunjung tidak
perlu membayar satu rupiah pun. Jadi menurut saya, bagi mereka yang tinggal di
Makassar dan tidak meluangkan waktu untuk hadir di MIWF mereka merupakan orang
yang merugi. Bagaimana mungkin kalian menyia-nyiakan acara yang bisa diakses
gratis oleh semua orang dan di dalamnya sangat banyak pelajaran dan hal-hal
bermanfaat yang bisa diterima.
Terakhir saya ingin menyampaikan, terima kasih kepada
semua yang terlibat karena telah melahirkan Makassar International Writers
Festival. Saya berharap tahun depan dapat kembali berpartisipasi
0 komentar